Polemik “Badunsanak” Daerah Istimewa Minangkabau (DIM)

0
330
Gambar Ilustrasi. Foto: Istimewa

“Goebbels mendukung kebebasan berbicara untuk pandangan yang disukainya. Begitu pula Stalin!. Jika Anda benar-benar mendukung kebebasan berbicara, maka Anda mendukung kebebasan berbicara untuk pandangan yang Anda benci. Jika tidak, sejatinya Anda tidak mendukung kebebasan berbicara” (Noam Chomsky)

“Tidak ada yang akan menuangkan kebenaran ke dalam otak Anda. Kebenaran itu adalah sesuatu yang harus Anda temukan sendiri” (Noam Chomsky)

Berikut ini mmcindonesia.id akan menyajikan tulisan di atas secara utuh dalam 5 bagian secara berurutan:

Bagian 1

Iramady Irdja
Pengamat Ekonomi Politik & Mantan Pegawai Bank Indonesia
  1. Pendahuluan

Diam-diam saya mengagumi pendapat seorang Chomsky. Sebenarnya ungkapannya biasa-biasa saja sebagai reaksi yang wajar seorang ilmuwan terhadap kondisi politik aktual di negaranya, Amerika Serikat. Penulis kadang-kadang “gatel” juga ingin virtual discussion dengan Chomsky. Sekedar sok kenal dan gaya-gayaan!

Namun bagi penulis, pendapat Chomsky juga aktual secara universal, termasuk Indonesia. Sekarang kita persempit dalam konteks DIM yang sedang trending topik.

Kedua “rendengan” ungkapan Chomsky sengaja dikutip agar kita menghormati kebebasan berbicara tentang DIM. Siapa saja boleh berpendapat tentang DIM. Bebas bersikap pro atau kontra DIM. Namun sebagai intelektual Minangkabau yang selalu berpikir atas pijakan “kebenaran” (truth), maka ungkapan kedua Chomsky perlu “diinok-inokan”: “Kebenaran itu harus dicari”. Tentu dengan membuka hati dan intelektual kita.

Kearifan seorang intelektual Minangkabau tidak akan berpijak pada “kepentingan” semata. Kalau pun terpaksa mendukung kepentingan, namun tetap dalam koridor kebenaran. Makanya intelektual Minangkabau tidak akan pernah hanyut dalam konsep politik “Post Truth” (PT) yang mengangkangi kebenaran. Itulah kekecewaan Chomsky pada kondisi politik AS. Gejala PT betul-betul merusak demokrasi di sana. Setidaknya pada era Trump.

Pada umumnya Cara berpikir intelektual Minangkabau cenderung kritis mendukung kebenaran. Hal ini pada dasarnya merupakan sebuah “keistimewaan” yang ditanamkan nenek moyang secara kultural. Sialnya, banyak yang tidak tahu dan tidak menyadari keistimewaan yang dimilikinya sendiri. Penulis selalu ingat pesan orang tua: “Gunakan otak dan hati untuk meyakini kebenaran, sebelum terlanjur bersikeras menegakkan benang basah.”

DIM menjadi trending topik secara lokal dan nasional. Dari pengamatan penulis, setidaknya terdapat yang pro DIM, kontra DIM, dan yang Netral dengan catatan. Penulis hanya membahas yang pro dan kontra saja. Anehnya kedua kelompok pro dan kontra sama-sama mengklaim untuk kemaslahatan Minangkabau ke depan. Mungkin tulisan ini dapat mencerahkan pembaca setelah “mainok-inokkan” dengan segala ketajaman dan kejujuran intelektual.

  1. Pro dan Kontra DIM

Pro dan kontra dalam sebuah dinamika masyarakat adalah hal biasa. Apalagi di lingkungan intelektual Minangkabau. Sebuah pertanda masyarakat yang memiliki kecerdasan, makanya kritis berpikir. Pendapat kritis hanya keluar dari kecerdasan, terlepas dari pro dan kontra DIM:

(1). Pendapat Pro DIM

Pandangan yang pro DIM, upaya untuk mengulang sukses orang Minang harus visioner-forward looking. Caranya harus memperkuat tempat “basitumpu” yakni dengan kembali memperkuat nilai pada kearifan lokal adat dan agama. Sumber energi kearifan lokal dimaksud sudah terbukti sukses mendorong kekuatan SDM Minangkabau dalam segala bidang pada generasi pendahulu.

Pengabaian terhadap kearifan lokal Minangkabau “tampek basitumpu nan lah taban” telah menggeruskan kekuatan orang Minangkabau yang ditandai dengan makin miskinnya kualitas SDM yang berbicara di level nasional dan internasional.

DIM adalah upaya riil untuk revitalisasi kekuatan kearifan lokal dalam keluarga-keluarga, sistem pendidikan, masyarakat, dan poleksosbud yang selama ini terpinggirkan. Revitalisasi ini sebagai modal sosial masyarakat Minangkabau untuk kembali go nasional dan internasional.

(2). Pendapat Kontra DIM

Tujuannya sama dengan yang Pro DIM yaitu untuk “kemaslahatan” Minangkabau. Pihak kontra DIM mensinyalir kehadiran DIM justeru akan merusak kearifan lokal karena adanya kemungkinan intervensi pemerintah formal terhadap kearifan lokal yang informal.

Kemajuan Minangkabau akan dicapai dengan menganut “kebebasan” sehingga faktor kearifan lokal tidak merupakan faktor yang utama. Pendapat ini mengemukakan bahwa ketika dunia berlomba memperluas jangkauan dunia bebas, justeru DIM mempersempit arena dengan mengusung kembali kearifan lokal. Menurut kelompok ini, DIM sebuah langkah mundur. Pikiran ini cenderung “liberal” yang tampak tidak melihat faktor kearifan lokal Minangkabau sebagai faktor yang perlu revitalisasi.

Selain itu, terdapat pula pendapat yang tendensius yang mengatakan gerakan DIM mengancam NKRI dengan bumbu jualan yang sedang laris yakni Radikalisme. Pendapat seperti ini sah-sah saja. Masyarakat Minangkabau yang terkenal kritis tentu memiliki penilaian tersendiri tentang upaya “sekularisme” di Minangkabau.

Apakah demikian?. Mari kita teropong dengan mata terbuka. Dari ringkasan pro kontra ini dapat membantu pembaca untuk menentukan pendapat sendiri setelah mengikuti analisis selanjutnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here