Bagian 4
- Realitas Keistimewaan Minangkabau
Banyak sekali keistimewaan Minangkabau dari berbagai aspek; sejarah, PDRI, tokoh-tokoh hebat di segala bidang, partisipasi pada NKRI, intelektual dan karakter masyarakat, kuliner, dan kultural.
Dari berbagai bidang keistimewaan Minangkabau dipilih 4 Keistimewaan Utama yang spesifik di Minangkabau. Keempat Keistimewaan Utama ini berkelindan satu sama lain saling memperkuat secara kultural dalam kearifan lokal:
Keistimewaan Pertama, Masyarakat Matrilineal Terbesar di Dunia. Masyarakat; Minangkabau dengan populasi lebih dari 5 juta orang merupakan masyarakat Matrilineal terbesar di dunia. Di seluruh dunia setidaknya terdapat 8 suku bangsa dan komunitas yang menganut matrilineal yang tersebar di berbagai negara dengan populasi masing-masing tidak lebih dari 1 juta. Sedangkan di Indonesia hanya terdapat satu-satunya di Minangkabau.
Dapat dijelaskan bahwa masyarakat Minangkabau bersifat matrilineal, bukan patrilineal, dan bukan pula matriarkal, sistem ini jarang ditemukan di dunia. Intinya adalah penghargaan tertinggi yang diberikan kapada “Ibu” alias perempuan dalam kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat, seirama dengan ajaran Islam yang juga menempatkan Ibu sebagai yang sangat dihormati dan dimuliakan. Ketika ditanya, siapa yang paling patut untuk dihormati, maka jawabnya sampai tiga kali: “ibumu, ibumu, ibumu.” Peranan Ibu pula yang secara psikologis di Minangkabau yang telah sukses mendidik dan menanamkan karakter keminangan antara lain nilai-nilai kehidupan, karakter, kearifan, kecerdasan, semangat merantau, dan semangat berkompetisi sesuai dengan kearifan lokal Minangkabau.
Keistimewaan Kedua, Sistem Pemerintahan Nagari (SPN). Pada pemerintahan Orde Baru, kebijakan penyeragaman penerapan sistem “desa” di Jawa telah menimbulkan bencana besar secara sistemik terhadap Sistem Pemerintahan Nagari di Minangkabau.
Berlakunya UU No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintah Desa, bagi Minangkabau kebijakan pemerintah Orde Baru dimaksud telah meruntuhkan SPN sebuah kekuatan keunggulan sistem pemerintahan yang khas yang dimiliki dan sudah berlaku ratusan tahun. Tercatat 543 nagari lenyap dari tatanan pemerintahan Minangkabau, menjadi sistem pemerintahan desa.
Padahal, SPN baik dari sistem maupun strukturnya jauh berbeda dengan sistem Desa di Jawa. Perbedaan SPN dan sistem Desa sangat bertolak belakang. SPN bercirikan antara lain demokratis, egaliter, orientasi rakyat, sedangkan sistem Desa; birokratif, feodalistik, dan otoritarian.
SPN di Minangkabau adalah bagaikan “republik-republik kecil” (petites republiques) yang memiliki unsur eksekutif, legislatif dan yudikatifnya ada di tingkat Nagari sendiri. Sistem kepemimpinannya pun juga terbagi tiga: Niniak-mamak, Alim-ulama dan Cadiak-pandai, yang masing-masing mewakili unsur Adat, Agama, dan Budaya. SPN ini mirip dengan Trias Politica yang pertama kali diperkenalkan oleh John Locke yang kemudian dikembangkan oleh Montesquieu (1698-1755).
Keistimewaan Ketiga, Sistem Harta Pusaka (SHP). Masyarakat dan budaya Minangkabau memiliki sistem kepemilikan harta dalam empat bagian yaitu Harato Pusako Tinggi (HPT), Harato Pusako Rendah (HPR), Sako, dan Tanah Ulayat, dengan penjelasan:
Pertama, Harato Pusako Tinggi (HPT), adalah hak milik kaum yang mempunyai pertalian darah dan diwarisi secara turun temurun dari nenek moyang. HPT berada di bawah pengelolahan mamak yang dituakan dalam kaum. Dalam pengelolaan HPT, merujuk pada ketentuan adat; “Tajua indak dimakan bali, tasando indak dimakan gadai.” Dengan demikian HPT dilarang diperjual beli dan pemindahan hak milik.
Kedua, Harato Pusako Randah (HPR), adalah warisan yang ditinggalkan pada generasi pertama. HPR tidak berasal dari pewarisan kerabatnya. HPR dapat dimanfaatkan atas dasar kesepakatan bersama. Dapat dipindahtangankan melalui jual beli atau dibagi-bagi antar pewaris.
Ketiga, Sako, adalah warisan yang menurut sistem matrilineal berupa gelar adat (goodwill) yang diwariskan kepada kemenakan (laki-laki) setelah mamak meninggal dunia atau dalam rangka pemindahan Sako “bakarilahan” kepada kemenakan meskipun Mamak masih hidup.
Keempat, Tanah Ulayat, menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat, Pasal 1, ayat 2: Tanah Ulayat bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Selanjutnya dalam Pasal 1 Ayat 1: Hak Ulayat dan serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat) adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Tanah Ulayat menurut kepemilikan dapat dibagi menjadi Tanah Ulayat Kaum, Tanah Ulayat Suku, dan Tanah Ulayat Nagari.
Keistimewaan Keempat, filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), adalah filosofi kehidupan yang dipakai di Minangkabau selama ini sebagai pandangan hidup atau way of life bagi masyarakat Minangkabau. Filosofi ini bersifat “spesialis” bukan “generalis,” dalam pengertian hanya berlaku bagi masyarakat hukum adat Minangkabau.
Dengan demikian, filosofi ini tidak bertentangan dengan keberagaman (pluralistik) masyarakat Indonesia yang kaya antara lain dari; adat budaya, agama, etnik, dan ras. Justeru keberadaan ABS-SBK memperkaya dan melengkapi nilai pluralistik bangsa Indonesia. ABS-SBK telah menjadi pedoman hidup masyarakat Minangkabau secara konsisten dan sustain. Keistimewaan ABS-SBK perlu dilakukan revitalisasi secara holistik karena keterkaitannya dengan berbagai dimensi kehidupan masyarakat Minangkabau dalam kontribusi riil pada NKRI.
Minimal untuk keempat Keistimewaan Utama di atas berlaku hukum adat dan hukum faraidh sekaligus. Oleh karena itu, harus diistimewakan yang difasilitasi secara konstitusional oleh UUD 1945 pasal 18.