Sumbar, MMCIndonesia.id – Sebuah harapan yang tersirat dalam benak orang Minang dan juga malah menjadi tanda tanya oleh masyarakat di luar etnis Minangkabau, karena jika kita menggunakan alasan historis dulu dikenal sangat tajam dalam pemikirannya, sehingga Bung Karno pernah mengungkapkan: “Bekerjalah seperti orang Jawa, berbicaralah seperti orang Batak, dan berfikirlah seperti orang Minang”. Mungkin sekarang perlu kita analisis bersama apa ada pergeseran pemikiran orang Minang saat ini.
Telah banyak diskusi, kajian dan debat yang dilakukan baik di dimensi formal melalui diskusi dan seminar, serta kajian riset di kampus atau media massa, maupun secara informal dalam diskusi dan celoteh orang di lapau atau surau sebagai medium komunikasi saluran lokal orang Minang, yang menakar dan memperdebatkan tentang degradasi tradisi pemikiran orang Minang yang surut dan bahkan seperti kehilangan ‘taji’, tetapi tak mampu mengembalikan marwah tersebut. Artinya kita selalu dianggap oleh berbagai kalangan yang berpersepktif sosio-antropologis sebagai etnis yang tercerabut dari akar budaya atau tradisi berpikir yang sebenarnya sangat mumpuni. Filosofi “Alam takambang jadi guru” merupakan pendekatan berpikir orang Minang, sebagai kekuatan kognitif, yang sesuai dengan tradisi ilmiah kaum positivistik, diimplementasikan dalam cara bertindak “raso jo pareso” (afektif) dan faham dengan “alua jo patuik” (psikomotor).
Barangkali selama kini kita perlu mereflesikan atau bercermin diri tentang persoalan apa sebenarnya yang menjadi akar masalah, sehingga orang Minang tergeser dari pertarungan peradaban dan pemikiran di negeri ini. Jika kita meminjam perspektif perubahan sosial challenge and respons (tantangan dan tanggapan) dari seorang Sosiolog Barat Arnold Toynbee (2007) yang mengatakan perubahan sosial sebuah masyarakat ditentukan oleh keras lunaknya tantangan yang dihadapi masyarakat itu, dan kedua peran dan kecapakan elit pemimpin. Menggarisbawahi variabel elit pemimpin sebagai unsur yang mempengaruhi perubahan masyarakat, khususnya di daerah, seperti gubernur kalau kita gunakan konteks provinsi, sangat menentukan kembalinya marwah tersebut sebagai aspek simbolis dan aspek ekspresi yang mesti diperjuangkan.
Maka, orang nomor satu di Sumatera Barat ini harus punya terobasan baru dalam membangun Sumatera Barat ini. Pemimpin yang kita harapkan ke depan harus punya pemikiran jauh ke depan “Future Practice atau Next Practice tidak “Best Practice” jangan belajar lagi dari kesuksesan masa lalu, hal ini akan membawa kita sebagai pengikut dan tidak pernah menjadi pemenang. Orang Minang ke depan harus menjadi pemenang. Kalau pemimpin sekarang tidak mampu memanfaatkan kekuatan yang ada pada orang Minang saat ini, kita perlu mencari pemimpin baru untuk Sumatera Barat ini, yang mampu membawa perubahan untuk kemajuan Sumbar. Banyak Politisi hebat, pengusaha hebat, diplomat hebat dan praktisi hebat yang punya talenta untuk memimpin Sumbar ini.
Saat ini juga dibutuhkan elit pemimpin yang tidak sibuk mencitrakan diri dengan segala potensi yang ia punyai, tetapi dibutuhkan orang yang memiliki kinerja yang jelas dan orang yang mau bekerja dan cerdas atau mewakafkan diri untuk kemajuan Sumbar, karena denga situasi keterpurukan ini kita butuh orang yang membumimikan ide-ide atau gagasan dan mampu mengeskekusi semua kebijakan dalam waktu yang cepat bukanlah sosok yang hebat berwacana dari panggung ke panggung. Artinya bukanlah seorang aktor yang pandai berdarmaturgi di panggung sandiwaranya.
Banyak persoalan mendasar di daerah ini yang mesti dibenahi karena tidak terselesaikan hampir dalam dua dekade ini. Daerah ini seperti kehilangan platform dalam ekonominya, pendidikan, pariwisatanya serta seperti lepas dari kearifan budaya lokalnya dan juga terjebak dalam putaran arus globalisasi yang deras. Kentaranya politik kepentingan hasil dari sebuah pertarungan atau kontestasi politik seperti Pilkada membuat kita lengah dalam membangunan peradaban berpikir kita, malah muatan lokal seperti Budaya Alam Minangkabau pun hilangan dalam kurikulum kita dan krisis identitas bahasa, hilangnya budaya malu, raso jo pareso dan kekerasan seksual di ranah keluarga inti, serta berbagai perilaku menyimpang yang merasuk dalam sistem sosial masyarakat yang terkenal dengan Adat Basandi Syarak dan Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) ini dan malah fenomena LGBT pun tak lagi terbendung. Karena kesalahan elit dalam mengelola masyarakat ini dengan hanya menggandalkan pendekatan yang mono saja atau tanpa mau merubah paradigma berpikir yang lebih moderat, hasilnya akan membuat pembangunan makin terpuruk jika kita masih bergulat dalam ranah arena politik praktis.
Kembalikan marwah Minangkabau dengan satu gerakan perubahan yang lebih humanis dan kulturis dengan mengelola potensi sumber daya lokal, rantau dan bahkan global Bangunlah daerah ini dengan cara berpikir yang terbuka dan tidak tersegmentasi pada kepentingan golongan serta menerima setiap nilai-nilai dinamis yang tidak bertentangan dengan filosofis ABS-SBK nilai-nilai universal yang ada dalam Pancasila, dengan semangat bangkit untuk kemajuan bersama.
Prof. Ganefri, Padang 1 Juni 2022